Minat Baca Anak Indonesia: Pekerjaan Rumah Bersama

Oleh
Kategori Kebutuhan
Tanggal 20 November 2019 kemarin adalah peringatan Hari Guru Nasional, diwarnai dengan ucapan selamat, kata-kata mutiara mengenai jasa guru, dan sebagainya. Tapi apa yang merupakan hadiah terindah bagi guru-guru yang tulus mengabdikan diri untuk pendidikan? Tentu siswa-siswi yang diajarnya tidak hanya menjadi pembelajar di ruang kelas, namun giat menuntut ilmu di mana saja.
Sayangnya, tingkat literasi di negeri ini masih rendah dibandingkan negara lain, setidaknya berdasarkan laporan World’s Most Literate Nations yang dirilis Central Connecticut state University tahun 2016; Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Padahal kemauan membaca erat kaitannya dengan kemampuan belajar, yang pada gilirannya menentukan kemajuan sebuah bangsa. Mengutip sastrawan Taufik Ismail, Indonesia adalah generasi nol buku, karena tidak adanya bacaan wajib non-teks pelajaran yang harus dibaca siswa dan mahasiswa. Sebagai contoh, di Amerika terdapat novel To Kill A Mockingbird karya Harper Lee yang memberikan gambaran mengenai rasisme dan daya merusaknya.
Membaca adalah pilar utama belajar dan berpikir kritis, maka wajar menjadi kekhawatiran orangtua jika anaknya tidak suka membaca. Lalu bagaimana meningkatkan minat baca anak Indonesia?
Menurut Vygotsky (1978) kita belajar melalui jalur kognitif dan afektif. Dalam artian, bagaimana kita merasa mengenai apa yang dipelajari sama pentingnya dengan bagaimana kita mempelajarinya. Hubungannya dengan meningkatkan minat baca?
Bagi orangtua dan guru dapat diterapkan dengan, misalnya, tidak memaksa anak meneruskan bacaan ketika dirinya tidak berminat membaca buku tertentu, tapi membangun diskusi dengan menanyakan apa yang tidak dia sukai dari buku tersebut. Membaca karya ‘buruk’ bisa jadi sama pentingnya dengan membaca karya yang bagus. Norton-Meier (2009) dalam tulisannya In Defense of A Crappy Literature: When the Book is Bad but the Literary Thinking is Rich di jurnal Language Arts menyatakan bahwa membaca karya yang tidak mereka sukai bisa menjadi jalan anak-anak belajar, sama halnya membaca cerita yang mereka sukai. Mempelajari literatur payah, katanya, dapat membuka ruang di mana anak mempertanyakan jalan cerita, memikirkannya, dan menyusun pemikiran mereka sendiri.
Bagaimanapun, kesukaan terhadap buku, terutama karya non-fiksi, adalah sebuah hal subjektif. Bacaan ringan; buku yang tipis, banyak ilustrasinya, tidak selalu kurang makna dibandingkan buku-buku berat yang mengusung topik sosial serius. Seiring pertambahan usia, topik bacaan akan secara alami meluas. Yang penting bagaimana membuat anak mau membaca terlebih dahulu, bukan seberapa banyak dan seberapa cepat ia membaca.
Maka ketersediaan ragam bacaan menjadi hal krusial. Belajar dari foto yang sempat viral di media sosial mengenai anak penjual tisu yang membaca buku, jika disediakan buku-buku yang tepat, semua orang punya kesempatan untuk suka membaca. Hal ini juga yang dilakukan komunitas Pustaka Bergerak, menyediakan buku-buku berkualitas ke pelosok nusantara. Bila penggiat komunitas bisa menyediakan bacaan berkualitas untuk anak di pedalaman, bagaimana dengan lingkup lokal; rumah, sekolah?
Bagi pendidik, satu dasar penting terangkum pada kalimat Jim Trelease di The Read-Aloud Handbook:
“Anda tidak bisa membuat orang lain flu kalau Anda sendiri tidak flu, dan Anda tidak bisa membuat anak cinta membaca kalau Anda sendiri tidak suka membaca.”
Khonza Hanifa/ Kapilerindonesia