18 02-20

Kintsugi: Seni Menghargai Kekurangan

avatar

Oleh   Marketing Team

Kategori   Program Panti

Manusia dan keinginan untuk melupakan.

Sudah tak terhitung berapa banyak cerita, lagu, dan puisi yang ditulis mengenai luka dan keinginan melupakan kejadian yang sudah berlalu. Atau film bertema perjalanan ke masa lalu dengan kesempatan mengubah nasib. 

Contohnya, di novel karya Tere Liye, Hujan, mengambil tema seputar keinginan melupakan kejadian tidak menyenangkan. Lail, si tokoh utama, ingin menggunakan mesin modifikasi pikiran untuk membuatnya melupakan kenangan yang terlalu menyakitkan untuk diingat.  

Pernah pula ada sebuah postingan yang beredar di media sosial dengan pertanyaan:

“Jika ada satu hari di mana kamu bisa melupakan apapun, apa yang akan kamu pilih untuk dilupakan?”

Di sisi lain, ada kintsugi, seni memperbaiki tembikar pecah ala Jepang menggunakan logam mulia seperti emas cair, perak cair, atau campuran pernis dan bubuk emas sebagai lem. Teknik ini menegaskan garis kerusakan dan menjadikannya indah, dibanding menyembunyikannya. Konsep ini berakar dari filosofi Jepang wabi-sabi. Leonard Koren dalam Wabi-sabi for Artist, Designer, Poets and Philosophers menyatakan bahwa wabi-sabi merupakan keindahan dari hal-hal yang tidak sempurna, tidak lengkap, dan permanen.     

Seni kintsugi menghargai kekurangan sebagai bagian sejarah sebuah objek, tidak untuk ditutupi.  Seni ini dipercaya berasal dari periode Muromachi di Jepang, ketika shogun Ashikaga Yoshimitsu yang sedih karena peralatan teh keramik Cina kesayangannya rusak, mengirimkannya ke Tiongkok untuk diperbaiki. Ketika tembikar itu kembali, tampilannya menjadi kurang menarik karena disatukan dengan staples logam. Yoshimitsu kemudian meminta para perajin seninya untuk memperbaiki lagi peralatan teh tersebut. Para perajin mendapat ide untuk menjadikan kerusakan yang ada sebagai bagian yang menambah keindahan dengan menggunakan campuran logam mulia sebagai perekat.

Seni memperbaiki tembikar ini bukan hanya mengenai menghargai sejarah sebuah benda, tapi dapat pula dilihat aplikasinya pada kehidupan seseorang. Hidup ini tidak akan selalu sempurna, jadi lebih baik kita menerima kegagalan dan menghargai kekurangan apa adanya. Sebuah hal yang mudah diucapkan, tapi sulit dijalankan.

Dalam ilmu psikologi, ada istilah beautiful mess effect, atau yang disebut Brene Brown dalam bukunya Daring Greatly dengan kalimat kerentanan adalah keberanian bagimu dan ketidaklayakan bagiku (vulnerability is courage in you and inadequacy in me). Kita seringkali menghargai ketika seseorang mau bersikap jujur atas kesalahan dan kekurangannya, tapi tidak mampu menerima kekurangan kita sendiri. Kita semua mengerti secara teori bahwa hal buruk terjadi, tapi kita juga merasa tidak senang ketika hal itu terjadi pada kita, tulis wartawan Quartz Ephrat Livni.

Begitupun dengan adik-adik di panti asuhan. Menengok sejarah hidup mereka sebelum masuk ke panti, mungkin banyak yang pahit. Ada yang tidak mengenal kedua orangtua kandung, atau memiliki orangtua lengkap, tapi tidak mau atau tidak mampu mengurus si anak. Namun itu tidak menjadikan mereka kurang layak diberi kesempatan dibandingkan anak-anak lain. Seperti kata Fiersa Besari di lagu Pelukku untuk Pelikmu: “kita perlu kecewa untuk tahu bahagia. Bukankah luka menjadikan kita saling menguatkan.”

Jadi, perlukah ada hari untuk melupakan?

Untuk memberikan komentar anda harus login terlebih dahulu

Komentar

Belum ada komentar :(