Coronavirus jadi Pandemi: Ketika Kemanusiaan Kita Diuji

Oleh
Kategori Program Panti Kebutuhan
Sejak pengumuman presiden mengenai 2 orang warga negara Indonesia yang positif terjangkit Coronavirus pada 2 Maret 2020, berbagai reaksi masyarakat terjadi, temasuk panic buying masker walaupun harganya naik, begitu pula dengan sembako. Di luar negeri, supermarket bahkan kehabisan barang yang bagi orang Indonesia tidak terpikirkan: tisu toilet.
Semua bermula dari kekhawatiran negaranya akan mengalami karantina wilayah; barang-barang akan cepat menghilang dari pasaran, kemudian tergesa-gesa membeli dalam jumlah besar untuk diri dan keluarga. Lainnya malah berusaha mengambil keuntungan dari situasi dengan menjual masker dan hand sanitizer, yang tiba-tiba menjadi barang paling dicari, dengan harga berkali lipat harga normal.
Sebuah metode sistematis penimbunan barang ini kita dapatkan dari kasus di Amerika Serikat. Dilansir dari The New York Times, Matt Colvin, dibantu saudaranya Noah, ketika mendengar berita kasus kematian pertama akibat Covid-19 di Amerika Serikat, berkeliling supermarket dan minimarket di kotanya dan mengosongkan rak-rak hand sanitizer nya. Mr. Colvin bahkan pergi ke kota lain untuk menimbun persediaan hand sanitizer yang lalu dijual dengan harga berkali lipat di situs daring Amazon. Banyak penjual lain melakukan hal yang sama, menuai kritik masyarakat sehingga akhirnya Amazon memblokir akun-akun yang menjual hand sanitizer dan tisu basah dengan harga jauh lebih mahal dari harga normal, membuat oknum seperti Colvin bersaudara berhadapan dengan ribuan botol produk yang tidak bisa lagi mereka jual.
Badan kesehatan dunia, WHO juga mengkhawatirkan adanya kelangkaan alat pelindung diri medis seperti masker, apron, dan kacamata pelindung untuk petugas kesehatan. Penggunaan APD yang tidak tepat seperti baju hazmat di area publik terjadi bukan hanya di Indonesia, juga negara lain seperti New Zealand, hoax atau berita palsu yang beredar, hingga adanya orang-orang yang mengambil keuntungan dari krisis kesehatan masyarakat bisa membuat kita merasa kewalahan.
Orang bahkan mulai merasakan gejala-gejala sakit walaupun sudah beberapa lama tidak ada kontak dengan orang luar, yang bisa jadi merupakan gejala psikosomatis, atau gejala sakit yang terjadi karena kita stres. Apakah virusnya bisa menular melalui udara? Apakah kalau saya bertetangga dengan penderita Covid-19 saya bisa terkena? Bagaimana caranya agar tidak terkena? Hal-hal ini bisa menambah beban emosional, di samping beban finansial.
Diantara semuanya, banyak pula orang baik yang bahu membahu menggalang dana untuk perlengkapan petugas medis, hingga sembako untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Namun tidak sedikit pula yang melangkah ke arah terlalu membanding-bandingkan antar kelas sosial.
Memperluas Makna Kemanusiaan: Lebih dari Stigma
Kamus Besar Bahasa Indonesia/stig.ma/ ciri negatif yang menempel pada diri seseorang karena pengaruh lingkungannya.
Mungkin benar bahwa pekerja yang mengandalkan penjualan harian seperti pedagang warteg, tukang sayur, dan ojek untuk nafkahnya merupakan kelompok yang terkena dampak paling besar dari macetnya perekonomian. Benar, tapi bukan berarti bisnis lain tidak kesulitan, kan?
Rasanya kurang adil nggak sih kalo kita saling membandingkan?
Pengusaha restoran dan kedai kopi, misalnya. Menurut HIPMI, pengusaha kuliner mengalami penurunan omset hingga 30% dan terancam gulung tikar karena kondisi wabah ini. Atau misalnya bimbingan belajar di kelas offline. Setelah tergerus peminatnya dengan keberadaan bimbel daring, kini terkena dampak pandemi. Jangankan pergi ke kelas bimbel, anak-anak pergi ke sekolah saja tidak.
Tentu ini bukan alasan untuk tidak membantu mereka yang lebih membutuhkan. Tapi bukahkah lebih baik jika kita, sebagai sesama manusia biasa, berhenti saling membandingkan sejenak. Berat untuk kamu, berat untuk yang lain juga. Kemanusiaan tidak berhenti di menolong orang-orang yang tidak punya rumah, kekurangan makan, dan lainnya. Kemanusiaan adalah tentang memperlakukan manusia lain dengan baik, miskin atau kaya, beruntung atau tidak beruntung.
Bisa jadi foto jalan-jalan yang diposting temanmu di media sosial adalah foto lama yang di unggah kembali. Mungkin influencer yang kelihatan serba bahagia di channel YouTube juga mempunyai kekhawatiran yang tidak ditunjukkan. Sebelum sibuk menilai orang asing seharusnya berbuat apa, coba tengok kanan-kiri, mungkin ada orang di dekatmu yang kesulitan. Kisah haru ojek online yang kehilangan pendapatan secara drastis, siapa tahu tidak jauh dari rumahmu ada tetangga yang terkena dampak serupa.
Pilihan yang diambil saat krisis merupakan cerminan siapa diri kita. Di saat restorannya harus ditutup karena karantina wilayah, contohnya, koki Jerman terkenal Max Strohe tidak berdiam diri meski restorannya tidak lagi melayani pelanggan. Strohe terus memasak untuk tenaga medis di berbagai rumah sakit; menerima sumbangan dari pemasok bahan makanan, juga mengoordinasi pengusaha restoran lain yang ingin ikut berpartisipasi. Strohe dan timnya bisa memasak hingga 800 porsi makanan dalam sehari.
Semoga ketika wabah ini berakhir, kita bisa mengingat ke belakang dan bersyukur, bahwa kita menjadi bagian dari solusi, bukannya masalah. Cukup jaga jarak fisik saja, jangan ada prasangka buruk di antara kita. Kamu juga bisa ambil bagian membantu penyediaan beras untuk panti asuhan di sini.
Khonza Hanifa/Kapilerindonesia