Benarkah Lebih Banyak Uang, Kita Lebih Bahagia?
Oleh
Kategori Kebutuhan
Bisakah uang membawa kebahagiaan?
Kita seringkali terjebak pada pola pikir ‘jika’, jika saja saya punya lebih banyak uang, punya rumah mewah, mengendarai mobil bagus, dan lain-lain, maka saya akan bahagia. Pikiran ‘lebih banyak uang lebih bahagia’ menjadi patokan kesuksesan seseorang. Tapi benarkah itu? Sebuah studi tahun 2018, keluarga yang berada di garis kemiskinan di Zambia diberikan insentif uang tanpa ada keharusan apapun. Selama 48 bulan studi berjalan, persepsi kepuasan emosional dan kesejahteraan, termasuk yang berhubungan dengan kesehatan dan anak mereka meningkat pesat. Lebih jelasnya, kebahagiaan lebih mudah dicapai ketika kebutuhan dasar seseorang sudah terpenuhi.
Ada pula perdebatan mengenai seberapa banyak penghasilan yang disebut terlalu banyak. Beberapa studi sudah melakukan ini, dan kebanyakan memiliki pola setelah melewati angka tertentu, kebahagiaan yang dimiliki menjadi stagnan. Apakah bagaimana seseorang membelanjakan uangnya berpengaruh? Ya. Ada sains yang mendukungnya.
Penelitian oleh Ashley Whillans dan tim tahun 2017 yang dipublikasikan Proceedings of The National Academy of Sciences mensurvei lebih dari 6200 orang dewasa di Kanada, Inggris, Denmark, dan Belanda tentang bagaimana mereka menggunakan uang. Orang-orang yang menggunakan uang mereka untuk menghemat waktu seperti layanan pesan makanan daring, jasa bersih-bersih rumah, tukang kebun; melaporkan tingkat kepuasan hidup yang lebih besar dibanding mereka yang menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli sesuatu yang bersifat materi atau benda.
Para peneliti juga melakukan percobaan terhadap 60 orang dewasa di Kanada, dengan memberikan mereka 40 dolar selama dua pekan untuk dihabiskan setiap akhir pekan, dengan instruksi untuk digunakan pada kegiatan yang menghemat waktu atau membeli barang (pakaian, dan lainnya). Kemudian partisipan penelitian ditanya mengenai tingkat stres dan suasana hati mereka. Hasilnya, kelompok yang ‘membeli’ waktu merasakan tingkat kesejahteraan yang lebih baik dan lebih sedikit stres. Kesimpulannya? Antara membeli tas baru atau menggunakan jasa untuk melakukan tugas rumah yang tidak kita suka, merapikan rumput di halaman rumah misalnya, pilih yang terakhir.
Baca juga: Tren Mukbang, Perlu Banyak Ditimbang
Dikutip dari Healthline terkadang kita juga menyamakan antara kesenangan dan kebahagiaan, meskipun keduanya berbeda. Dr. Robert Lustig, dalam bukunya The Hacking of the American Mind, menjelaskan bahwa orang seringkali rancu antara ide kesenangan dan kebahagiaan. Mereka berfokus mengejar sesuatu yang disangka membuat bahagia, tapi ternyata malah menyebabkan penderitaan.
Mengetahui perbedaannya, menurut Dr. Lustig, bisa menghindarkan seseorang dari mengejar sesuatu yang sia-sia. Kesenangan semata berhubungan dengan menerima sesuatu, seperti memenangkan hadiah undian atau berbelanja barang. Kesenangan sesaat juga bisa didapatkan dari berbagai zat, seperti konsumsi gula, kafein, atau minuman keras. Hal-hal yang pada tingkat ekstrim bisa menyebabkan ketagihan. Sebaliknya, kebahagiaan seringkali dirasakan melalui perilaku memberi; apakah itu waktu kita, menghadiahkan sesuatu pada orang terdekat, atau berbagi untuk kegiatan amal.
Uniknya, keduanya juga mengaktifkan area berbeda di otak, dan berhubungan dengan neurotransmitter yang berbeda. Dopamin menyebabkan rasa puas seperti kehebohan saat memenangkan sebuah hadiah undian. Ciri perasaan yang diakibatkan dopamin yaitu berlangsung hanya untuk waktu singkat sehingga harus terus distimulasi untuk mendapatkan lebih banyak. Sedangkan perasaan bahagia diakibatkan oleh pelepasan hormon serotonin, yang dapat ditingkatkan dengan mempererat hubungan sosial, berkontribusi bagi sekitar, dan menjaga kesehatan dengan konsumsi makanan sehat.
Jadi bisakah uang membawa kebahagiaan? Tentu bisa, dengan menggunakannya secara bijak. Salah satunya berbagi pada adik di panti asuhan. Yuk berbagi kebahagiaan dengan adik asuh panti dengan cara klik di sini.
Khonza Hanifa/Kapilerindonesia